PENGEMBANGAN ETOS KERJA DALAM
PERPEKTIF BUDDHIS
Ivan Yulietmi*
Nyana Karuno**
Kartomo***
Abstract: The research literature is descriptive qualitative study
aims to determine how to development of work ethic in a Buddhist perspective.
The primary source of research derived from Ti Pitaka scriptures and secondary
sources from reference books, scholarly journals, and internet-related
research. The results showed that the Buddhist work ethic is the perfection of
effort / attempt (viriya parami) to
make a person stay motivated to achieve the purpose of employment, thereby
generating economic growth. Embodied in human beings who have moral and
intellectual qualities so that it can work vigorously without harm others.
Behaviors that appear to have perseverance, precision, good friends, can live
in balance, faith, moralitycharity and wisdom. Development of Buddhist work
ethic through the five stages of the growing determination and spirit of the
work, increase the area of knowledge, improve skills / professionalism,
increase patience and perseverance, and enhance self-actualization in the work.
Abstrak: Penelitian deskriptif kualitatif studi kepustakaan ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengembangan etos kerja dalam perspektif
buddhis. Sumber primer penelitian diperoleh dari kitab suci Ti Pitaka dan
sumber skunder dari buku-buku referensi, jurnal ilmiah, dan internet yang
berkaitan dengan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etos kerja
buddhis adalah kesempurnaan upaya/usaha (viriya
parami) guna membuat seseorang tetap bersemangat dalam mencapai tujuan
bekerja, sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Mewujud dalam manusia yang
memiliki kualitas moral dan intelektual sehingga dapat bekerja penuh semnagat
tanpa merugikan pihak lain. Perilaku yang muncul yaitu memiliki ketekunan, keseksamaan,
sahabat baik, dapat hidup seimbang, keyakinan, moralitas, kemurahan hati dan
kebijaksanaan. Pengembangan etos kerja buddhis melalui lima tahap yaitu
menumbuhkan tekad dan semangat dalam bekerja, meningkatkan pengetahuan luas,
meningkatkan keahlian/profesionalisme, meningkatkan kesabaran dan ketekunan,
dan meningkatkan aktualisasi diri dalam bekerja.
Kata kunci: pengembangan, etos kerja, perspektif buddhis
Pendahuluan
Kerja merupakan
suatu yang esensial dalam kehidupan seseorang . Buddhisme menekankan pentingnya
bekerja, dalam syair “seseorang yang pada masa mudanya tidak menjalankan
kehidupan suci, tidak juga mengumpulkan kekayaan, akan merana seperti bangau tua yang tinggal di kolam tanpa
ikan” (Dhp.
155). Tujuan bekerja pada umumnya ingin mencapai seluruhnya atau salah satu
dari tujuan-tujuan berikut: mendapatkan nafkah, menabung untuk hari tua,
membangun karir cemerlang dengan demikian membuat dirinya memenuhi syarat untuk
memperoleh jabatan yang lebih tinggi, dimotivasi oleh keinginan menyumbangkan
karya nyata bagi masyarakat demi kemajuan komunitasnya, sebagai lapangan
ekspresi diri secara kreatif dan artistik, aktualisasi diri, wahana pengabdian
bagi sebuah idealisme, mengekspresikan rasa tanggung jawab dan syukur atas
kehidupan (Sinamo, 2002). Faktor utama
dalam Bekerja adalah memiliki etos kerja tinggi.
Etos
kerja adalah wujud dari keyakinan dan komitmen yang berakar dalam nilai-nilai
dan doktrin kerja tertentu. Etos kerja tercermin dalam perilaku kerja yang khas
seperti disiplin, kerja keras, ulet dan jujur. Etos kerja secara operasional
merupakan dasar keberhasilan, baik keberhasilan ditingkat personal,
organisasional, maupun sosial (Sinamo,
2002).
Fenomena
yang terjadi berdasarkan pengamatan melalui media elektronik dan media cetak
memperlihatkan bahwa masyarakat belum memiliki etos kerja yang baik. Etos kerja
rendah dalam masyarakat diidentifikasikan dengan banyaknya pengemis,
pengangguran, tunawisma, pencurian, perampokan, penipuan maupun korupsi. Persoalan
yang mencolok adalah pengangguran dan kemiskinan.
Data
BPS pada tahun 2002, menyebutkan jumlah pengangguran terbuka (orang yang sama
sekali tidak bekerja) di Indonesia mencapai 9,13 juta orang atau 9,06% dari
jumlah angkatan kerja. Pengangguran terbuka ini tersebar di perkotaan 55,6% dan
di pedesaan ada sekitar 44,4% meningkat menjadi 10,3 juta jiwa atau 9,9% pada
tahun 2004. Meningkatnya pengangguran terbuka, ini memerlukan
perhatian serius, mengingat masalah ini dapat menimbulkan kerawanan sosial.
Buddha mencela
kebiasaan menganggur. Buddaha menjelaskan dalam sigalovada sutta, bagaimana seseorang tidak bekerja dengan alasan
terlalu dingin, terlalu panas, terlalu pagi, terlalu siang, terlalu kenyang
atau terlalu lapar. Berdasarkan alasan ini, seseorang menunda atau tidak
bekerja yang meyebabkan pekerjaan yang harus dikerjakan tidak dikerjakan, harta
yang baru tidak didapatkan, harta yang ada menjadi habis (D.iii.184). Hilangnya
sumber penghasilan berarti terjerat dalam kemiskinan.
Kemiskinan dalam
pengertian konvensional adalah income komunitas
yang berada di bawah satu garis kemiskinan tertentu (Zikrullah, 2004).
Kemiskinan menyebabkan seseorang terlibat dalam berbagai kesulitan. Kemiskinan
merupakan sebab seseorang berhutang, karena berhutang dituntut untuk membayar
hutang dan bunganya, mendapat tekanan dan diusik para kreditor dan dapat
dipenjara (A.vi.45).
Kemiskinan
merupakan masalah krusial. Pemahaman dan upaya mengentaskan kemiskinan belum
menunjukan hasil yang menggembirakan. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia
membuat bertambahnya orang ‘miskin baru’. Penanggulangan kemiskinana menjadi
tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan baik pemerintah maupun
masyarakat. Schumacher berpendapat bahwa dari berbagai sebab kemiskian
faktor-faktor kemiskinan seperti kekurangan
sumberdaya alam, modal dan prasarana merupakan sebab sekunder, sebab
primernya adalah kekurangan di bidang pendidikan, organisasi dan disiplin (Sinamo, 2002). Kunci pemecahan masalah
kemiskinan adalah pengembangan sumber daya manusia, yang mendasar adalah dengan
menumbuhkan disiplin/etos kerja.
Pengentasan
kemiskinan harus dimulai dari setiap individu setahap demi setahap dengan
memperbaiki kualitas pribadinya yaitu melalui menumbuhkan etos kerja,
pengetahuan, dan keterampilan organisasi. Ibarat pohon, etos kerja adalah akar,
pengetahuan adalah batang dan keterampilan organisasi adalah ranting dan daun,
sedangkan uang dan barang-barang material adalah buahnya. Berdasarkan
pengetahuan yang ditopang oleh etos kerja yang baik maka keterampilan
organisasi dapat dibangun (ranting dan pohon). Ketiga komponen ini menghasilkan
kinerja tinggi, dan menghasilkan barang jasa yang berguna bagi kehidupan.
Kajian
empirik dan teoritis tentang pengembangan etos kerja berdasarkan nilai-nilai
agama telah banyak dilakukan, masalahnya belum ada yang meneliti pengembangan
etos kerja dalam perspektif buddhis. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan
pengembangan etos kerja dalam perspektif buddhis.
Pentingnya
penelitian ini, pertama hasil
penelitian diharapkan memberikan sumbangan teori pengembangan sumberdaya
manusia khususnya peningkatan etos kerja dalam perspektif buddhis. Kedua memberikan subtansi kepada
institusi-institusi pengembangan sumberdaya manusia seperti STIAB Smaratungga
guna meningkatkan kinerja para dosen dan staf sehingga mencapai tujuan secara
maksimal. Ketiga sebagai wacana bagi
umat Buddha untuk menumbuhkan semangat dan motivasi dalam bekerja.
Metodologi Penelitian
Data
yang hendak dikumpulkan adalah tentang pengembangan etos kerja dalam perspektif
buddhis. Berdasarkan konsep ini yang dikehendaki adalah suatu informasi dalam
bentuk deskripsi dan makna data deskripsi tersebut. Sumber primer penelitian diperoleh dari kitab suci Ti Pitaka dan sumber
skunder dari buku-buku referensi, jurnal ilmiah, dan internet yang berkaitan
dengan penelitian.
Data diperoleh
melalui membaca dan mengkaji bahan pustaka secara jeli dan responsif sehingga
dapat mengungkapkan data, baik secara eksplisit maupun implisit sebagai wacana
yang detail mengenai pengembangan etos kerja
dalam perspektif buddhis.
Penelitian
dilaksanakan berdasarkan empat tahap penelitian
(Zed, 2004). Pertama
menyiapkan alat perlengkapan berupa pulpen/pensil, dan kartu catatan. Kartu
yang digunakan ada tiga jenis yaitu kartu pertama digunakan untuk mencatat
informasi sumber atau bibliografi kerja, kartu kedua digunakan untuk mencatat bacaan
dari sumber publikasi yang berbeda seperti kitab suci, buku referensi, dan
internet, kartu ketiga berupa lembaran kerja khusus, baik untuk mencatat
pertanyaan-pertanyaan penelitian maupun untuk membuat agenda kerja.
Tahap
kedua menyusun bibliografi kerja.
Bibliografi kerja adalah catatan mengenai bahan sumber utama yang akan
dipergunakan untuk kepentingan penelitian. Sumber utama diperoleh melalui
koleksi perpustakaan STIAB Smaratungga. Alat bantu bibliografi kerja berupa
buku-buku referensi, jurnal ilmiah, media cetak, dan internet. Tahap ketiga mengorganisasikan waktu yaitu
membuat jadwal penelitian dengan mempertimbangkan kemampuan peneliti seberapa
lama dapat bertahan membaca dan mencatat dalam sekali duduk. Tahap keempat kegiatan membaca dan mencatat
bahan penelitian, melalui teknik membuat daftar pertanyaan yang berisi kesan
umum, tujuan, dan tesis utama buku. Peneliti lalu melakukan penilaian isi dan
relevansi bahan bacaan dengan penelitian.
Proses
analisa dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia baik dari sumber
primer (Ti Pitaka) maupun sumber sekunder kemudian mereduksi data-data dan
menyusun kedalam satuan-satuan. Pemeriksaan keabsahan data menggunaan teknik
triangulasi, membandingkan data dari berbagai sumber publikasi dengan sumber
primer (Ti Pitaka).
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pengertian Etos Kerja
Etos
keraja berarti semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang
atau kelompok (KBBI, 2001). Etos dalam
kamus webster didefinisikan sebagai
keyakinan yang berfungsui sebagai panduan tingkah laku sekelompok orang atau
institusi (guiding beliefs of a grup or
institusian) (Mahardika, 2002). Berdasarkan pengertian diatas dapat
ditarik kesimpulan etos kerja merupakan watak/karakter dasar suatu masyarakat.
Karakter dasar ini bersal dari keyakinan/agama, sifat, nilai, dan adat istiadat
yang berlaku dalam masyarakat. Etos kerja mengandung pengertian nilai yang
melandasi norma-norma sosial tentang kerja.
Etos kerja buddhis
mengacu padakonsep viriya parami. Etos
kerja buddhis merupakan kesempurnaan upaya/usaha guna membuat seseorang tetap
bersemangat dalam mencapai tujuan bekerja, sehingga menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang bermanfaat bagi kebahagiaan lahir dan batin. Etos kerja buddhis
diterjemahkan dalam perilaku kreatif dengan memperbaiki kualitas hidup secara
produktif dan membuang egoisme dalam meningkatkan kualitas diri karena setiap
makhluk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Perbuatan sendiri yang
menentukan bagaimana keadaan/nasib dan kelahirannya di kemudian hari (A.v.288).
Wujud Etos Kerja
Etos
kerja direfleksikan dalam perilaku kerja positip seperti, disiplin, kerja
keras, ulet, hemat, sederhana, jujur, loyal, kreatif, inovatif, imajinatif,
efisien, efektif, dan antusias. Perwujudan luar etos kerja adalah struktur dan
norma sosial. Pengangguran dalam masyarakat yang memiliki penghargaan tinggi
dalam kerja mempunyai status sosial rendah atau dianggap rendah. Ciri-ciri
warga masyrakat yang memiliki etos kerja tinggi adfalah mempunyai semangat dan
produktivitas tinggi (Wiradi, 1989).
Refleksi
etos kerja buddhis adalah manusia berkualitas. Buddha menjelaskan bahwa “Orang
yang bajik dan cerdas …. Menimbun harta bagaikan kumbang yang menjelajah
mengumpulkan madu. Hartanya menumpuk bagaikan sarang semut yang semakin tinggi”
(D. III.188). Manusia dengan kualitas
moral (bajik) dan intelektual (cerdas) yang baik akan mampu mengumpulkan
kekayaan dengan cara benar yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Buddha
menekankan pentingnya kualitas moral seseorang dalam setiap aktivitas.
Berdasarkan hukum kausalitas (hukum karma) perbuatan baik akan menghasilkan
kebaikan/kesejahteraan dan perbuatan jahat akan menghasilkan penderitaan.
Sukses atau berkah pada dasarnya bukan suatu keadaan yang datang dengan
sendirinya atau kebetulan tetapi muncul sebagai pahala dari timbunan
jasa/perbuatan bajik pada masa lalu, sekarang atau masa yang akan datang.
Premiernya
kualitas moral dalam mencapai kesuksesan/keberhasilan dijelaskan dalam nidhikhandha sutta. Keberhasilan
diperoleh melaluijasa kebajikan, perilaku baik, pandai menhan dan mengendalikan
diri, gemar berdana termasuk menyokong sangha dan tempat ibadah. Buddha bersabda
tidak hanya kekayaan, semua jenis keberuntungan diperoleh sebagai hasil
perbuatan baik (Khp.8).
Kualitas
intelektual merupakan pendukung utama keberhasilan seseorang setelah kualitas
moral terpenuhi. Intelektualitas menghasilkan lifeskill/keterampilan hidup, kemamppuan memahami dan
mengeksplorasi rasa ingin tahu sehingga memunculkan kebijaksanaan (cintamaya panna). Siddhartha Gotama
merupakan teladan seorang yang memiliki kualitas moral dan intelektual yang
tinggi. Siddhartha Gotama berhasil mengeksplorasi keiingintahuannya dengan
menyelaraskan kualitas moral dan intelektual sehingga mencapai kebuddhaan.
Perilaku yang muncul dari seseorang yang
memiliki etos kerja buddhis yaitu (1) memiliki ketekunan (itthana sampada), (2) memiliki kesesakmaan (arakkha sampada), (3) memiliki sahabat baik (kalyana mitatta), (4) hidup seimbang (sama jivikata), (5) keyakinan (saddha),
(6) moralitas (sila), (7) kemurahan
hati (caga) dan (8) kebijaksanaan (panna) (A.iv.281-283).
Memiliki
ketekunan berarti rajin bekerja mencari nafkah sesuai bidang keahlian yang
dimiliki, belajar menjadi terampil dengan cara yang benar, mampu menjalankan
tugas dan kewajiban dalam pekerjaan serta tidak malas.
Memiliki
kesamaan berarti mampu menjaga kekayaan yang diperoleh dengan kerja keras dan
cara yang benar agar tidak merosot atau hilang, apakah dicuri atau direbut
orang lain, disita penguasa, jatuh pada ahli waris yang tidak cakap dan
menghindari kebakaran atau kebanjiran.
Memiliki
sahabat baik adalah memiliki pergaulan yang baik dengan semua kalangan.
Kriteria sahabat baik yaitu memiliki kualitas keyakinan (saddha), moralitas (sila), kedermawanan
(caga), dan kebijaksanaan (panna) yang baik. Pergaulan yang baik
memberi pengaruh positif dalam kehidupan seseorang seperti meningkatkan semangat
dalam bekerja, meningkatkan pemaham dalam kehidupan sehingga diperoleh
ketenangan dan kebahagiaan hidup. “Bergaul dengan orang bijaksana adalah berkah
utama” (Sn.259).
Hidup
serasi, selaras dan seimbang berarti mengetahui cara menggunakan kekayaan dengan
benar sehingga dapat hidup hemat tetapi tidak kikir, menjaga agar besar
pengeluaran tidak melampaui penghasilan. Buddha dalam Sigalovada Sutta
menjelaskan bahwa kekayaan dapat lenyap memalui empat cara yaitu pesta pora,
mabuk-mabukan, perjudian dan pergaulan dengan orang jahat.
Memiliki
keyakinan berarti memiliki kepercayaan terhadap penerangan sempurna Tathagatta,
Dharma, dan hukum-hukum kesunyataan. Keyakinan yang benar menuntun cara
pikir/pandangan, perilaku dan ucapan yang positif sehingga menghasilkan sikap
positif dalam menghadapi realitas kerja dan memiliki kekuatan mental dalam
menghadapi rintangan dalam bekerja.
Memiliki
moralitas adalah tidak melakukan pembunuhan, pencurian, hubungan kelamin yang
salah, ucapan yang salah, dan mengkonsumsi zat yang melemahkan kesadaran.
Moralitas merupakan pondasi bagi kemajuan dan kesuksesan hidup. “Jalankan
praktik hidup yang benar dan jangan lalai. Barang siapa hidup sesuai dengan
Dharma akan hidup bahagia didunia ini maupun di dunia berikutnya” (Dhp.169).
Kedermawanan
adalah hidup tanpa keserakahan, senantiasa berdana, murah hati, senang dengan
kedermawanan, memperhatikan kebutuhan orang lain dan senang dalam membagikan
sedekah. “Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa” (Dhp.177).
Kebijaksanaan
yang mampu memahami realitas hidup sebagaimana adanya dengan memahami timbul
dan lenyapnya lima kelompok kehidupan (perasaan, persepsi, kesadaran, bentukan
batin dan jasmani), sehingga memiliki pandangan terang yang membawa pada
lenyapnya penderitaan.
Prinsip Etos Kerja Buddhis
Prisip-prinsip
etos kerja Buddhis dijelaskan kasibharadvja
sutta yaitu keyakinan, pengendalian diri, kebjiksanaan, keserdahaan,
pikiran positif, perhatian dan kewaspadaan, pengendalian tindakan fisik,
kebenaran, ketenangan dan usaha keras (Sn.77-79).
Etos kerja buddhis mencerminkan kemandirian tidak egois dan sikap hidup
sederhana. Kemandirian terlihat dalam pengakuan terhadap eksistensi manusia
dalam merealisasi kebenaran (nibbana).
Keselamatan dan pencerahan dapat dicapai dengan usaha manusia sendiri (D.ii.100). Keyakinan memiliki peranan
utama dalam setiap ektivitas/kerja. Keyakinan diibaratakan benih sebagai cikal
bakal keberhasilan. Buddha menjelaskan pada raksasa Alavaka bahwa keyakinan
merupakan harta termulia (Sn.182).
Dasar keyakinan adalah kebenaran; Buddha, Dhamma dan Sangha.
Pengendalian
diri adalah usaha untuk bertindak dan memikirkan akibat dari hal-hal tertentu
sebelum hal tersebut terjadi dan menghindari perbuatan yang menyimpang dari
tujuan. Pengendalian diri diperlukan dalam bekerja karena dapat menumbuhkan
sifat-sifat positif seperti rajin, tekun, dan penuh perhatian pada pekerjaan. “Didunia
ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki
rasa malu berbuat jahat, dan senantiasa waspada…. Sesorang dengan bekal
pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran akan
meninggalkan penderitaan” (Dhp.143-144).
Kebijaksanaan
yang dimaksud adalah kebijkasaan dalam melihat segala sesuatu sebagaimana
adanya, semua fenomena salalu berubah (anicca),
dapat membawa penderitaan (dukkha), dan
tidak memiliki inti yang kekal (anata).
Pemahaman ini akan menuntun seseorang untuk menyiapkan mental dalam menghadapi
perubahan dan menghasilkan sikap bijaksana untuk menyikapi kemajuan atau
kemunduran didunia kerja sehingga tidak stress.
Kesederhanaan
adalah penggunaan sesuatu tepat guna dan pola pikir sederhana dalam
menyelesaikan masalah. Kesederhanaan menuntut seseorang untuk kreatif dalam
mencipta, contoh semakin sederhana (kecil) bentuk chip komputer maka semakin
mahal harganya dan semakin canggih programnya. Kesederhanaan sikap dalam hidup
melahirkan penghargaan terhadap alam sehingga penggunaan terhadap sumber daya
alam dapat dipertanggungjawabkan demi kelangsungan hidup manusia. Buddha
memperbandingkan orang yang tidak dapat hidup sederhana bagaikan menikmati
kobaran api nafsu seperti penderita kusta yang merasa nikmat dengan membiarkan
anggota badannya dipanggang diatas api. Penderita kusta yang sudah sembuh dan
orang-orang yang sehat tidak membiarkan tubuhnya dijilat api (M.i.506).
Pikiran
positif merupakan kemampuan untuk merespon setiap situasi secara positif. Sikap
ini akan memberi reaksi yang positif terhadap kondisi yang negatif, memiliki
kewaspadaan, kontrol emosi lebih stabil, tidak mudah putus asa, optimis,
bijaksana dan memandang masalah secara luas. Sikap pemikir positif dalam
menghadapi situasi netral yaitu tidak bosan, penuh semangat, kreatif, inovatif
dan tetap waspada. Sikap pemikir positif dalam menghadapi situasi
positi/menguntungkan yaitu tidak terlena, tidak sombong, muncul rasa syukur dan
terus meningkatkan motivasi.
Perhatian dan kesadaran berarti
menghindari kondisi pikira kacau
(bingung/teralihkan), dan pikiran yang tertutup kabut (tidak bisa melihat
dengan jernih), perhatian dan kewaspadaan diperlukan untuk keamanan kerja,
efisiensi, dan produktifitas. Sikap ini menghasilkan pola pikir kritis yang
mampu membedakan kenyataan dan khayalan. Buddha bersabda dengan waspada dan
penuh perhatian serta terampi dengan segala cara seseorang harus membebaskan
diri dari kenikmatan, membuat pikiran tenang dan tidak terganggu (Sn.1039).
Pengendalian tindakan fisik atau
moralitas merupakan pondasi bagi semua kualitas, kabajikan, pencapaian, mulai
dari duniawi sampai supra duniawi, mulai dari kesuksesan dan keberuntungan
hingga keahlian meditas, dan akhirnya moralitas menjadi pondasi bagi
kebijaksanaan dan pencerahan. Pengendalian tindakan fisik dilakukan terhadap
perbuatan, ucapan dan mata pencaharian, juga terhadap hal makanan.
Kebenaran merupakan dasar setiap
aktifitas. Bekerja yang didasarkan pada kebenaran memberi rasa aman karena
tidak dihantui oleh pikiran dikejar-kejar pihak berwajib karena melanggar
hukum, tidak tercela dalam masyarakat dan orang bijaksana, serta secara psikis
tidak dihantui rasa bersalah terhadap Tuhan karena melakukan tindakan tercela.
Ketenangan bermanfaat dalam menghadapi
dalam setiap persoalan sehingga membuat hidup menjadi sehat dan rileks.
Ketenangan bukanlah kelemahan. Tingkah laku yang tenang setiap waktu menunjukkan
tingkat kebudayaan seseorang. Bersikap tengan dalam setiap kondisi menyenangkan
tidaklah sulit. Ketenangan dalam kondisi sulit harus diperjuangkan karena
berlatih untuk bertindak tenang dan terkontrol setiap saat, kekuatan karakter
seseorang dibangun.
Usaha keras diibaratkan ternak dengan
kuk yang membawa menuju nibbana (tujuan
akhir). Usaha keras dilakukan tanpa terhenti sampai tujuan tercapai sehingga
tidak ada lagi penyesalan. Kunci kehidupan sukses adalah mengerjakan apa yang
harus dikerjakan saat ini, tidak mengingat masa lalu, dan khawatir akan masa
depan.
Karakteristik Etos Kerja
Karakteristik
etos kerja ada empat yaitu pertama; memperkuat karakter pekerja dengan
membangun perilaku positif seperti disiplin, keja keras, ulet, hemat, jujur, ramah,
loyal dan antusias terhadap pekerjaan. Kedua; mempertinggi kompetensi
profesional pekerja. Hal ini akan meningkatkan semangat yang menuntun seseorang
untuk terus belajar dan tidak puas terhadap hal yang telah dicapai. Ketiga;
menghasilkan kinerja-kinerja unggul. Seseorang dengan penghargaan tinggi
terhadap pekerjaan dapat menghasilkan kinerja dan produktifitas tinggi.
Keempat; tangguh dan mampu menghadapi situasi sulit dengan positif.
Pengembangan Etos Kerja
Pengembangan
etos kerja buddhis dilakukan melalui cara:
1.
Menumbuhkan
tekad (adhitthana) dan semangat (viriya) dalam bekerja.
Tekad tercermin dalam visi dan misi
kerja. Visi dan misi kerja dalam buddhisme ada 2 tingkatan yaitu; tingkat
pertama berkaitan dengan kehidupan dunia
yaitu mendapatkan kekayaan, nama baik/kedudukan atau kemasyuran, usia
panjang, dan terlahir di surga setelah meninggal dunia (A.ii.66). Tingkat kedua lebih mulia dan lebih luas dari pada
pertama yaitu atas dasar kasih sayang dan dorongan untuk menyelamatkan dan
membahagiakan semua makhluk.
Tekad yang tercermin dalam visi misi ini
hanya dapat direalisasi melalui semangat (viriya).
Semangat dapat ditumbuhkan melalui empat cara yaitu pertama; usaha rajin
keadaan-keadaan jahat dan buruk tidak tidak timbul dalam diri seseorang. Keadaan
jahat yang dimaksud adalah pikiran-pikiran jahat seperti menipu, korupsi,
melanggar aturan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, dan
menggunakan kekerasan dalam bekrja. Pikiran jahat harus dilenyapkan dalam diri
seseorang karena dapat mendatangkan kerugian/penderitaan.
Kedua; usaha rajin dalam menghilangkan
keadaan jahat dan buruk yang timbul. Pikiran buruk wajar timbul dalam diri
seseorang yang masih diliputi oleh perubahan. Cara merespon pikiran buruk yang
timbul adalah menyadari kekurangan dan kelebihan manusia sehingga mengetahui
mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Kondisi pikiran buruk dapat
dinetralisir dengan banyak melakukan kegiatan bermanfaat bagi bagi diri sendiri
dan orang lain, seperti meditasi, pelayanan sosial, dan olahraga.
Ketiga; usaha rajin untuk menjaga
keadaan-keadaan baik dalam diri seseorang. Keadfan naik ini adalah pikiran
positif yang menunjang pada kemajuan material dan spiritual. Perbuatan baik
akan mendatangkan kesuksesan dan kebahagiaan.
Keempat: usaha untuk menjaga
keadaan-keadaan baik tersebut tidak hilang. Langkah terakhir dalam menumbuhkan
semangat adalah dengan senantiasa menjaga /memilihara pikiran-pikiran positif
yang telah timbul tetap berada dalam diri seseorang.
Keempat aspek upaya/usaha benar dalam
menumbuhkan semangat memfokuskan pada energi pikiran pada kondisi mental
seseorang. Tujuannya adalah untuk mengurangi bahkan menghiangkan pikiran tidak
bermanfaat (akusala) dan untuk
meningkatkan dan menghasilkan pikiran bermanfaat (kusala).
2.
Meningkatkan
pengetahuan luas (bahusacca) dalam
bekerja.
Pengetahuan merupakan awal dari tindakan
bermanfaat dan tidak bermanfaat. “Pengetahuan akan mendahului dan membawa pada
hal-hal yang bermanfaat, sedangkan pikiran tahu malu dan pikiran takut untuk
bertindak salah akan mengikutinya” (It.40).
Fungsi pengetahuan dalam buddhisme
adalah mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan dan kebahagiaan, untuk
menghentikan kejahatan, menghasilkan keterampilan hidup, meningkatkan
moralitas, dan mengembangkan kebijaksanaan.
Cara memperoleh pengetahuan dapat
dilakukan melalui beberapa cara yaitu
peratama; membangun keyakinan, dengan keyakinan menumbuhkan rasa hormat yang
akan diikuti munculnya keinginan untuk mengetahui dan belajar sehingga
menghasilkan pengetahuan.
Kedua; mendengarkan. Mendengarkan adalah
proses vital dalam belajar, melalui mendengar seseorang mengingat, mengetahui,
dan memahami sesuatu. Ketiga; menanyakan. Pengetahuan dapat diperoleh melalui
bertanya, sebab hampir semua pembelajaran dilakukan dengan dialog/tanya jawab.
Keempat; perhatian seksama dan pengertian jelas. Pengetahuan dapat diperoleh
melalui penelitian/pengamatan terhadap setiap aktifitas sehari-hari sehingga
diperoleh pemahaman. Buddha memperoleh pencerahan berdasarkan pengamatan
terhadap kehidupan yaitu kelahiran, usia tua dan kematian.
Kelima; kesaksian. Kesaksian orang lain
terhadap suatu kebenaran dapat menjadi inspirasi/pencerahan diri sendiri,
seperti yang terjadi pada bhikkhu Sariputta. Bhikkhu Sariputta memahami inti
sari ajaran berdasarkan kesaksian bhikkhu Asajji. Bhikkhu Sariputta memahami
konsep sebab akibat yang mendasari semua ajaran Buddha Gotama melalui syair
yang diucapkan oleh bhikkhu Asajji.
Keenam; melalui proses bertahap.
Pendidikan memberi tempat seluas-luasnya pada pengujian, pemahaman rasional,
dan pengalaman empiris. Belajar merupakan proses evolusi karena perubahan
perilaku memerlukan waktu, kesabaran, dan ketekunan. Suatu proses pada
hakekatnya merupakan rangkaian sebab akibat, dengan memahami proses ini maka
pengetahuan dan kebenaran dapat diperoleh.
3.
Meningkatkan
keahlian/profisionalisme (sippa) dalam
bekerja.
Keahlian dalam bekerja merupakan langkah
awal menuju sukses Buddha menjelaskan dalam Gonaka
Moggalana Sutta tentang kemajuan latihan, kerja, dan perbuatan progresif melalui
praktik Dhamma dan Vinaya. Praktik Dhamma dan Vinaya menghasilkan pencapaian
jhana-jhana dari meditasi benar. Metode Gonaka
Moggalana Sutta dapat diterapkan untuk memperoleh keahlian/profesionalisme
dalam bekerja.
Perhatian penuh dengan peraturan-peraturan.
Seseorang yang masih dalam tahap pendidikan harus memiliki disiplin dalam
mentaati peraturan-peraturan. Peraturan berfungsi untuk mengendalikan tingkah
laku, menggiatkan usaha dalam belajar, dan mengendalikan perasaann-perasaan
takut, khawatir atau cemas terhadap kegagalan, hambatan, masa depan, maupun
persaingan. Sehingga perasaan tersebut tidak mengganggu proses pendidikan.
Menjaga indera-indera, yaitu
mengendalikan indera dengan memahami hal-hal yang dilihat, didengar, dicium,
dirasakan, disentuh, dan apa yang diketahui melalui pikiran sebagaimana adanya
sehingga tidak menimbulkan keserakahan dan kesedihan. Implikasiny dalam proses
pendidikan seseorang akan fokus pada satu bidang keahlian sehingga akan
benar-benar menguasai bidang tersebut sebelum memperdalam bidang lainnya.
Ketiga; pengetahuan benar mengenai
makan. Pengetahuan tentang jumlah makan secara benar. Penting guna memenuhi
kadar gizi pada tubuh. Buddhisme menganggap makanan berfungsi menunjang dan
mempertahankan kelangsungan tubuh, untuk mengakhiri keadaan yang tidak
menyenangkan dan membantu kehidupan suci. Buddha tidak membenarkan makan untuk
kesenangan, ketagihan, mempercantik dan memperindah diri.
Keempat; tetap waspada. Seseorang selalu
berusaha membebaskan diri dari kesulitan-kesulitan setiap saat. Seperti
kemalasan, ketidaksabaran, kebencian, kemarahan, atau keserakahan. Kesulitan
dapat juga berupa minimnya fasilitas pendidikan, tidak harmonisnya interaksi
dengan guru dan teman maupun masalah finansial.
Kelima; hati-jati dan penuh kesadaran (satisampajanna). Setiap aktifitas baik
ketika sedang dalam proses belajar amupun aktifitas lainnya memerlukan
perhatian dan pengeratian penuh sehingga dapat memahami dan menerima
pengetahuan dengan baik. Keenam; pergi ketempat peristirahatan terpencil dan
menuju empat jhana. Aplikasi tahap keenam adalah memilij lembaga pendidikan
yang berkompeten baik fasilitas maupun tenaga pengajarnya sehingga hasil dari
ppendidikan yang diharapkan dapat tercapai yaitu berupa perubahan tingkah
lauku, pemahaman, dan keahlian bekerja.
4.
Meningkatkan
kesabaran (khanti) dan ketekunan (appamada) dalam bekerja.
Kesabaran dan ketekunan bermanfaat dalam
memahami adanya keterkaitan antara usaha-waktu-dan hasil. Buddha bersabda;
“Para bhikkhu petani membajak ….hendaklah tanamanku bertunas hari ini, esok
hendaknya berbutir bernas, dan hari berikutnya hendaklah masak. Tidak!
Tergantung pada waktunya yang tepat yang mebuat hal-hal itu terjadi” (A.i.240).
Buddha menekankan perlunya memahami
proses dalam mengharapkan hasil. Segala sesuatu berjalan berdasarkan hukum
alam(niyama). Kesabaran akan memunculkan sikap positip seperti ketengangan,
analisa yang cermat, kritis, tabah dalam menghadapi persoalan, dan
keuletan/ketekunan.
Kesabaran di5tumbuhyklan dengan cara
menetralisir kondisi buruk seperti keinginan yang mengikat (chanda), kecenderungan terhadap kebencian (dosa), kecenderungan terhadap kebodohan (moha), kecenderungan terhadap ketakutan (bhaya).
Buddha menjelaskan untuk mengembangkan
ketekunan dapat dilakukan melalui empat cara yaitu (1) menghentikan perikaku
buruk dalam tindakan, dan mengembangkan perilaku bajik dalam tindakan, (2)
menghentikan perikaku buruk dalam ucapan, dan mengembangkan perilaku bajik
dalam ucapan, (3) menghentikan perikaku buruk dalam pikiran, dan mengembangkan
perilaku bajik dalam pikiran, (4)mengehentikan pandangan salah dan
mengembangkan pandangan benar.
5. Meningkatkan aktualisasi diri dalam
bekerja (parami)
Aktualisasi diri merupakan proses
membuat potensi diri menjadi aktual/nyata, berarti bagaimana membuat eksistensi
diri seseorang diakui dalam masyarakat.
Seseorang yang teraktualisasi memiliki
ciri-ciri: (1) keterbukaan terhadap pengalaman, (2) percaya diri, (3) sumber
evaluadi inyternal, dan (4) kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut.
Aktualisasi diri memiliki implikasi yang signifikan terhadap cara pandang
seseorang mengenai kerja. Seseorang yang memiliki aktualisasi diri akan menjadi
teladan dan inspirasi dalam masyarkat, sehingga membawa kemajuan bagi komunitas
dan dunia secara luas, serta memiliki penghargaa yang tinggi terhadap
kelestarian alam.
Simpulan dan saran
Simpulan
Etos kerja buddhis
adalah kesempurnaan upaya/usaha (viriya
parami) guna membuat seseorang tetap bersemangat dalam mencapai tujuan
bekerja, sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
Wujud dalam manusia
yang memiliki kualitas moral dan intelektual sehingga dapat bekerja penuh
semnagat tanpa merugikan pihak lain.
Perilaku yang
muncul dari seseorang yang mengembangkan etos kerja buddhis adalah memiliki
ketekunan, keseksamaan, sahabat baik, dapat hidup seimbang, keyakinan,
moralitas, kemurahan hati dan kebijaksanaan.
Pengembangan etos
kerja buddhis dilakukan dengan memperhatikan aspek moralitas dan intelektual melalui
lima tahap yaitu menumbuhkan tekad dan semangat dalam bekerja, meningkatkan
pengetahuan luas, meningkatkan keahlian/profesionalisme, meningkatkan kesabaran
dan ketekunan, dan meningkatkan aktualisasi diri dalam bekerja.
Saran
Keberhasilan
seseorang pada hakekatnya ditentukan oleh diri sendiri melalui usaha keras, dan
perbuatan bajik karena itu bekerja dengan semangat/etos kerja tinggi sangat
diperlukan. Pendalaman ajaran agama (Dhamma) dapat memperkuat etos kerja
seseorang.
Penelitian
pengembangan etos kerja dalam perspektif buddhis bersifat deskriptif studi
pustaka masih bersifat teoritik makan disarankan agar dapat dilakukan
penelitian terapan dengan obyek penelitian yang sama.
Daftar Pustaka
.... 2001. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Dialoques Of The
Buddha (Dhiga Nikaya) Vol. III. Terjemahan David, R. 1977b. London: The Pali Text
Society
Sinamo, J. H. (2002). Ethos21: Etos Kerja Profesional di Era Digital
Global. Jakarta: Institut Darma Mahardika
Dhammapada. Terjemahan Supandi, C. J.
1997. Bandung: Karaniya
The Book of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol. IV. Woodward, F. L., & Hare, E. M. 1972-1978b. London: The Pali Text
Society.
The Book of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol. V. Woodward, F. L., & Hare, E. M.
1972-1978b. London: The Pali Text Society.
The Minor Reading (Khuddhaka Nikaya). Terjemahan Nanamoli, B. 1978. London: The Pali Text Society.
Wiradi, G. 1989. Ensiklopedia Nasional Indonsia Jilid 5. Jakarta:
PT. Cipta adi Pustaka.
Zed, M. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor.