Kamis, 20 September 2012

Jurnal_PENGEMBANGAN ETOS KERJA DALAM PERPEKTIF BUDDHIS


PENGEMBANGAN ETOS KERJA DALAM PERPEKTIF BUDDHIS

Ivan Yulietmi*
Nyana Karuno**
Kartomo***


Abstract: The research literature is descriptive qualitative study aims to determine how to development of work ethic in a Buddhist perspective. The primary source of research derived from Ti Pitaka scriptures and secondary sources from reference books, scholarly journals, and internet-related research. The results showed that the Buddhist work ethic is the perfection of effort / attempt (viriya parami) to make a person stay motivated to achieve the purpose of employment, thereby generating economic growth. Embodied in human beings who have moral and intellectual qualities so that it can work vigorously without harm others. Behaviors that appear to have perseverance, precision, good friends, can live in balance, faith, moralitycharity and wisdom. Development of Buddhist work ethic through the five stages of the growing determination and spirit of the work, increase the area of knowledge, improve skills / professionalism, increase patience and perseverance, and enhance self-actualization in the work.

Abstrak: Penelitian deskriptif kualitatif studi kepustakaan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengembangan etos kerja dalam perspektif buddhis. Sumber primer penelitian diperoleh dari kitab suci Ti Pitaka dan sumber skunder dari buku-buku referensi, jurnal ilmiah, dan internet yang berkaitan dengan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa etos kerja buddhis adalah kesempurnaan upaya/usaha (viriya parami) guna membuat seseorang tetap bersemangat dalam mencapai tujuan bekerja, sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Mewujud dalam manusia yang memiliki kualitas moral dan intelektual sehingga dapat bekerja penuh semnagat tanpa merugikan pihak lain. Perilaku yang muncul yaitu memiliki ketekunan, keseksamaan, sahabat baik, dapat hidup seimbang, keyakinan, moralitas, kemurahan hati dan kebijaksanaan. Pengembangan etos kerja buddhis melalui lima tahap yaitu menumbuhkan tekad dan semangat dalam bekerja, meningkatkan pengetahuan luas, meningkatkan keahlian/profesionalisme, meningkatkan kesabaran dan ketekunan, dan meningkatkan aktualisasi diri dalam bekerja.

Kata kunci: pengembangan, etos kerja, perspektif buddhis
Pendahuluan
Kerja merupakan suatu yang esensial dalam kehidupan seseorang . Buddhisme menekankan pentingnya bekerja, dalam syair “seseorang yang pada masa mudanya tidak menjalankan kehidupan suci, tidak juga mengumpulkan kekayaan, akan merana seperti bangau tua yang tinggal di kolam tanpa ikan” (Dhp. 155). Tujuan bekerja pada umumnya ingin mencapai seluruhnya atau salah satu dari tujuan-tujuan berikut: mendapatkan nafkah, menabung untuk hari tua, membangun karir cemerlang dengan demikian membuat dirinya memenuhi syarat untuk memperoleh jabatan yang lebih tinggi, dimotivasi oleh keinginan menyumbangkan karya nyata bagi masyarakat demi kemajuan komunitasnya, sebagai lapangan ekspresi diri secara kreatif dan artistik, aktualisasi diri, wahana pengabdian bagi sebuah idealisme, mengekspresikan rasa tanggung jawab dan syukur atas kehidupan  (Sinamo, 2002). Faktor utama dalam Bekerja adalah memiliki etos kerja tinggi.
Etos kerja adalah wujud dari keyakinan dan komitmen yang berakar dalam nilai-nilai dan doktrin kerja tertentu. Etos kerja tercermin dalam perilaku kerja yang khas seperti disiplin, kerja keras, ulet dan jujur. Etos kerja secara operasional merupakan dasar keberhasilan, baik keberhasilan ditingkat personal, organisasional, maupun sosial  (Sinamo, 2002).
Fenomena yang terjadi berdasarkan pengamatan melalui media elektronik dan media cetak memperlihatkan bahwa masyarakat belum memiliki etos kerja yang baik. Etos kerja rendah dalam masyarakat diidentifikasikan dengan banyaknya pengemis, pengangguran, tunawisma, pencurian, perampokan, penipuan maupun korupsi. Persoalan yang mencolok adalah pengangguran dan kemiskinan.
Data BPS pada tahun 2002, menyebutkan jumlah pengangguran terbuka (orang yang sama sekali tidak bekerja) di Indonesia mencapai 9,13 juta orang atau 9,06% dari jumlah angkatan kerja. Pengangguran terbuka ini tersebar di perkotaan 55,6% dan di pedesaan ada sekitar 44,4% meningkat menjadi 10,3 juta jiwa atau 9,9% pada tahun 2004. Meningkatnya pengangguran terbuka, ini memerlukan perhatian serius, mengingat masalah ini dapat menimbulkan kerawanan sosial.
Buddha mencela kebiasaan menganggur. Buddaha menjelaskan dalam sigalovada sutta, bagaimana seseorang tidak bekerja dengan alasan terlalu dingin, terlalu panas, terlalu pagi, terlalu siang, terlalu kenyang atau terlalu lapar. Berdasarkan alasan ini, seseorang menunda atau tidak bekerja yang meyebabkan pekerjaan yang harus dikerjakan tidak dikerjakan, harta yang baru tidak didapatkan, harta yang ada menjadi habis (D.iii.184). Hilangnya sumber penghasilan berarti terjerat dalam kemiskinan.
Kemiskinan dalam pengertian konvensional adalah income komunitas yang berada di bawah satu garis kemiskinan tertentu  (Zikrullah, 2004). Kemiskinan menyebabkan seseorang terlibat dalam berbagai kesulitan. Kemiskinan merupakan sebab seseorang berhutang, karena berhutang dituntut untuk membayar hutang dan bunganya, mendapat tekanan dan diusik para kreditor dan dapat dipenjara (A.vi.45).
Kemiskinan merupakan masalah krusial. Pemahaman dan upaya mengentaskan kemiskinan belum menunjukan hasil yang menggembirakan. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia membuat bertambahnya orang ‘miskin baru’. Penanggulangan kemiskinana menjadi tanggung jawab bersama bagi semua pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat. Schumacher berpendapat bahwa dari berbagai sebab kemiskian faktor-faktor kemiskinan seperti kekurangan  sumberdaya alam, modal dan prasarana merupakan sebab sekunder, sebab primernya adalah kekurangan di bidang pendidikan, organisasi dan disiplin  (Sinamo, 2002). Kunci pemecahan masalah kemiskinan adalah pengembangan sumber daya manusia, yang mendasar adalah dengan menumbuhkan disiplin/etos kerja.
Pengentasan kemiskinan harus dimulai dari setiap individu setahap demi setahap dengan memperbaiki kualitas pribadinya yaitu melalui menumbuhkan etos kerja, pengetahuan, dan keterampilan organisasi. Ibarat pohon, etos kerja adalah akar, pengetahuan adalah batang dan keterampilan organisasi adalah ranting dan daun, sedangkan uang dan barang-barang material adalah buahnya. Berdasarkan pengetahuan yang ditopang oleh etos kerja yang baik maka keterampilan organisasi dapat dibangun (ranting dan pohon). Ketiga komponen ini menghasilkan kinerja tinggi, dan menghasilkan barang jasa yang berguna bagi kehidupan.
Kajian empirik dan teoritis tentang pengembangan etos kerja berdasarkan nilai-nilai agama telah banyak dilakukan, masalahnya belum ada yang meneliti pengembangan etos kerja dalam perspektif buddhis. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pengembangan etos kerja dalam perspektif buddhis.
Pentingnya penelitian ini, pertama hasil penelitian diharapkan memberikan sumbangan teori pengembangan sumberdaya manusia khususnya peningkatan etos kerja dalam perspektif buddhis. Kedua memberikan subtansi kepada institusi-institusi pengembangan sumberdaya manusia seperti STIAB Smaratungga guna meningkatkan kinerja para dosen dan staf sehingga mencapai tujuan secara maksimal. Ketiga sebagai wacana bagi umat Buddha untuk menumbuhkan semangat dan motivasi dalam bekerja.

Metodologi Penelitian
Data yang hendak dikumpulkan adalah tentang pengembangan etos kerja dalam perspektif buddhis. Berdasarkan konsep ini yang dikehendaki adalah suatu informasi dalam bentuk deskripsi dan makna data deskripsi tersebut. Sumber primer penelitian diperoleh dari kitab suci Ti Pitaka dan sumber skunder dari buku-buku referensi, jurnal ilmiah, dan internet yang berkaitan dengan penelitian.
Data diperoleh melalui membaca dan mengkaji bahan pustaka secara jeli dan responsif sehingga dapat mengungkapkan data, baik secara eksplisit maupun implisit sebagai wacana yang detail mengenai pengembangan etos kerja dalam perspektif buddhis.
Penelitian dilaksanakan berdasarkan empat tahap penelitian  (Zed, 2004). Pertama menyiapkan alat perlengkapan berupa pulpen/pensil, dan kartu catatan. Kartu yang digunakan ada tiga jenis yaitu kartu pertama digunakan untuk mencatat informasi sumber atau bibliografi kerja, kartu kedua digunakan untuk mencatat bacaan dari sumber publikasi yang berbeda seperti kitab suci, buku referensi, dan internet, kartu ketiga berupa lembaran kerja khusus, baik untuk mencatat pertanyaan-pertanyaan penelitian maupun untuk membuat agenda kerja.
Tahap kedua menyusun bibliografi kerja. Bibliografi kerja adalah catatan mengenai bahan sumber utama yang akan dipergunakan untuk kepentingan penelitian. Sumber utama diperoleh melalui koleksi perpustakaan STIAB Smaratungga. Alat bantu bibliografi kerja berupa buku-buku referensi, jurnal ilmiah, media cetak, dan internet. Tahap ketiga mengorganisasikan waktu yaitu membuat jadwal penelitian dengan mempertimbangkan kemampuan peneliti seberapa lama dapat bertahan membaca dan mencatat dalam sekali duduk. Tahap keempat kegiatan membaca dan mencatat bahan penelitian, melalui teknik membuat daftar pertanyaan yang berisi kesan umum, tujuan, dan tesis utama buku. Peneliti lalu melakukan penilaian isi dan relevansi bahan bacaan dengan penelitian.
Proses analisa dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia baik dari sumber primer (Ti Pitaka) maupun sumber sekunder kemudian mereduksi data-data dan menyusun kedalam satuan-satuan. Pemeriksaan keabsahan data menggunaan teknik triangulasi, membandingkan data dari berbagai sumber publikasi dengan sumber primer (Ti Pitaka).

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pengertian Etos Kerja
Etos keraja berarti semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau kelompok  (KBBI, 2001). Etos dalam kamus webster didefinisikan sebagai keyakinan yang berfungsui sebagai panduan tingkah laku sekelompok orang atau institusi (guiding beliefs of a grup or institusian)  (Mahardika, 2002). Berdasarkan pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan etos kerja merupakan watak/karakter dasar suatu masyarakat. Karakter dasar ini bersal dari keyakinan/agama, sifat, nilai, dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat. Etos kerja mengandung pengertian nilai yang melandasi norma-norma sosial tentang kerja.
Etos kerja buddhis mengacu padakonsep viriya parami. Etos kerja buddhis merupakan kesempurnaan upaya/usaha guna membuat seseorang tetap bersemangat dalam mencapai tujuan bekerja, sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang bermanfaat bagi kebahagiaan lahir dan batin. Etos kerja buddhis diterjemahkan dalam perilaku kreatif dengan memperbaiki kualitas hidup secara produktif dan membuang egoisme dalam meningkatkan kualitas diri karena setiap makhluk bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Perbuatan sendiri yang menentukan bagaimana keadaan/nasib dan kelahirannya di kemudian hari (A.v.288).

Wujud Etos Kerja
Etos kerja direfleksikan dalam perilaku kerja positip seperti, disiplin, kerja keras, ulet, hemat, sederhana, jujur, loyal, kreatif, inovatif, imajinatif, efisien, efektif, dan antusias. Perwujudan luar etos kerja adalah struktur dan norma sosial. Pengangguran dalam masyarakat yang memiliki penghargaan tinggi dalam kerja mempunyai status sosial rendah atau dianggap rendah. Ciri-ciri warga masyrakat yang memiliki etos kerja tinggi adfalah mempunyai semangat dan produktivitas tinggi  (Wiradi, 1989).
Refleksi etos kerja buddhis adalah manusia berkualitas. Buddha menjelaskan bahwa “Orang yang bajik dan cerdas …. Menimbun harta bagaikan kumbang yang menjelajah mengumpulkan madu. Hartanya menumpuk bagaikan sarang semut yang semakin tinggi” (D. III.188). Manusia dengan kualitas moral (bajik) dan intelektual (cerdas) yang baik akan mampu mengumpulkan kekayaan dengan cara benar yang tidak merugikan diri sendiri dan orang lain.
Buddha menekankan pentingnya kualitas moral seseorang dalam setiap aktivitas. Berdasarkan hukum kausalitas (hukum karma) perbuatan baik akan menghasilkan kebaikan/kesejahteraan dan perbuatan jahat akan menghasilkan penderitaan. Sukses atau berkah pada dasarnya bukan suatu keadaan yang datang dengan sendirinya atau kebetulan tetapi muncul sebagai pahala dari timbunan jasa/perbuatan bajik pada masa lalu, sekarang atau masa yang akan datang.
Premiernya kualitas moral dalam mencapai kesuksesan/keberhasilan dijelaskan dalam nidhikhandha sutta. Keberhasilan diperoleh melaluijasa kebajikan, perilaku baik, pandai menhan dan mengendalikan diri, gemar berdana termasuk menyokong sangha dan tempat ibadah. Buddha bersabda tidak hanya kekayaan, semua jenis keberuntungan diperoleh sebagai hasil perbuatan baik (Khp.8).
Kualitas intelektual merupakan pendukung utama keberhasilan seseorang setelah kualitas moral terpenuhi. Intelektualitas menghasilkan lifeskill/keterampilan hidup, kemamppuan memahami dan mengeksplorasi rasa ingin tahu sehingga memunculkan kebijaksanaan (cintamaya panna). Siddhartha Gotama merupakan teladan seorang yang memiliki kualitas moral dan intelektual yang tinggi. Siddhartha Gotama berhasil mengeksplorasi keiingintahuannya dengan menyelaraskan kualitas moral dan intelektual sehingga mencapai kebuddhaan.
 Perilaku yang muncul dari seseorang yang memiliki etos kerja buddhis yaitu (1) memiliki ketekunan (itthana sampada), (2) memiliki kesesakmaan (arakkha sampada), (3) memiliki sahabat baik (kalyana mitatta), (4) hidup seimbang (sama jivikata), (5) keyakinan (saddha), (6) moralitas (sila), (7) kemurahan hati (caga) dan (8) kebijaksanaan (panna) (A.iv.281-283).
Memiliki ketekunan berarti rajin bekerja mencari nafkah sesuai bidang keahlian yang dimiliki, belajar menjadi terampil dengan cara yang benar, mampu menjalankan tugas dan kewajiban dalam pekerjaan serta tidak malas.
Memiliki kesamaan berarti mampu menjaga kekayaan yang diperoleh dengan kerja keras dan cara yang benar agar tidak merosot atau hilang, apakah dicuri atau direbut orang lain, disita penguasa, jatuh pada ahli waris yang tidak cakap dan menghindari kebakaran atau kebanjiran.
Memiliki sahabat baik adalah memiliki pergaulan yang baik dengan semua kalangan. Kriteria sahabat baik yaitu memiliki kualitas keyakinan (saddha), moralitas (sila), kedermawanan (caga), dan kebijaksanaan (panna) yang baik. Pergaulan yang baik memberi pengaruh positif dalam kehidupan seseorang seperti meningkatkan semangat dalam bekerja, meningkatkan pemaham dalam kehidupan sehingga diperoleh ketenangan dan kebahagiaan hidup. “Bergaul dengan orang bijaksana adalah berkah utama” (Sn.259).
Hidup serasi, selaras dan seimbang berarti mengetahui cara menggunakan kekayaan dengan benar sehingga dapat hidup hemat tetapi tidak kikir, menjaga agar besar pengeluaran tidak melampaui penghasilan. Buddha dalam Sigalovada Sutta menjelaskan bahwa kekayaan dapat lenyap memalui empat cara yaitu pesta pora, mabuk-mabukan, perjudian dan pergaulan dengan orang jahat.
Memiliki keyakinan berarti memiliki kepercayaan terhadap penerangan sempurna Tathagatta, Dharma, dan hukum-hukum kesunyataan. Keyakinan yang benar menuntun cara pikir/pandangan, perilaku dan ucapan yang positif sehingga menghasilkan sikap positif dalam menghadapi realitas kerja dan memiliki kekuatan mental dalam menghadapi rintangan dalam bekerja.
Memiliki moralitas adalah tidak melakukan pembunuhan, pencurian, hubungan kelamin yang salah, ucapan yang salah, dan mengkonsumsi zat yang melemahkan kesadaran. Moralitas merupakan pondasi bagi kemajuan dan kesuksesan hidup. “Jalankan praktik hidup yang benar dan jangan lalai. Barang siapa hidup sesuai dengan Dharma akan hidup bahagia didunia ini maupun di dunia berikutnya” (Dhp.169).
Kedermawanan adalah hidup tanpa keserakahan, senantiasa berdana, murah hati, senang dengan kedermawanan, memperhatikan kebutuhan orang lain dan senang dalam membagikan sedekah. “Sesungguhnya orang kikir tidak dapat pergi ke alam dewa” (Dhp.177).
Kebijaksanaan yang mampu memahami realitas hidup sebagaimana adanya dengan memahami timbul dan lenyapnya lima kelompok kehidupan (perasaan, persepsi, kesadaran, bentukan batin dan jasmani), sehingga memiliki pandangan terang yang membawa pada lenyapnya penderitaan.

Prinsip Etos Kerja Buddhis
Prisip-prinsip etos kerja Buddhis dijelaskan kasibharadvja sutta yaitu keyakinan, pengendalian diri, kebjiksanaan, keserdahaan, pikiran positif, perhatian dan kewaspadaan, pengendalian tindakan fisik, kebenaran, ketenangan dan usaha keras (Sn.77-79). Etos kerja buddhis mencerminkan kemandirian tidak egois dan sikap hidup sederhana. Kemandirian terlihat dalam pengakuan terhadap eksistensi manusia dalam merealisasi kebenaran (nibbana). Keselamatan dan pencerahan dapat dicapai dengan usaha manusia sendiri (D.ii.100). Keyakinan memiliki peranan utama dalam setiap ektivitas/kerja. Keyakinan diibaratakan benih sebagai cikal bakal keberhasilan. Buddha menjelaskan pada raksasa Alavaka bahwa keyakinan merupakan harta termulia (Sn.182). Dasar keyakinan adalah kebenaran; Buddha, Dhamma dan Sangha.
Pengendalian diri adalah usaha untuk bertindak dan memikirkan akibat dari hal-hal tertentu sebelum hal tersebut terjadi dan menghindari perbuatan yang menyimpang dari tujuan. Pengendalian diri diperlukan dalam bekerja karena dapat menumbuhkan sifat-sifat positif seperti rajin, tekun, dan penuh perhatian pada pekerjaan. “Didunia ini jarang ditemukan seseorang yang dapat mengendalikan diri dengan memiliki rasa malu berbuat jahat, dan senantiasa waspada…. Sesorang dengan bekal pengetahuan dan tingkah laku sempurna serta memiliki kesadaran akan meninggalkan penderitaan” (Dhp.143-144).
Kebijaksanaan yang dimaksud adalah kebijkasaan dalam melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, semua fenomena salalu berubah (anicca), dapat membawa penderitaan (dukkha), dan tidak memiliki inti yang kekal (anata). Pemahaman ini akan menuntun seseorang untuk menyiapkan mental dalam menghadapi perubahan dan menghasilkan sikap bijaksana untuk menyikapi kemajuan atau kemunduran didunia kerja sehingga tidak stress.
Kesederhanaan adalah penggunaan sesuatu tepat guna dan pola pikir sederhana dalam menyelesaikan masalah. Kesederhanaan menuntut seseorang untuk kreatif dalam mencipta, contoh semakin sederhana (kecil) bentuk chip komputer maka semakin mahal harganya dan semakin canggih programnya. Kesederhanaan sikap dalam hidup melahirkan penghargaan terhadap alam sehingga penggunaan terhadap sumber daya alam dapat dipertanggungjawabkan demi kelangsungan hidup manusia. Buddha memperbandingkan orang yang tidak dapat hidup sederhana bagaikan menikmati kobaran api nafsu seperti penderita kusta yang merasa nikmat dengan membiarkan anggota badannya dipanggang diatas api. Penderita kusta yang sudah sembuh dan orang-orang yang sehat tidak membiarkan tubuhnya dijilat api (M.i.506).
Pikiran positif merupakan kemampuan untuk merespon setiap situasi secara positif. Sikap ini akan memberi reaksi yang positif terhadap kondisi yang negatif, memiliki kewaspadaan, kontrol emosi lebih stabil, tidak mudah putus asa, optimis, bijaksana dan memandang masalah secara luas. Sikap pemikir positif dalam menghadapi situasi netral yaitu tidak bosan, penuh semangat, kreatif, inovatif dan tetap waspada. Sikap pemikir positif dalam menghadapi situasi positi/menguntungkan yaitu tidak terlena, tidak sombong, muncul rasa syukur dan terus meningkatkan motivasi.
Perhatian dan kesadaran berarti menghindari kondisi pikira  kacau (bingung/teralihkan), dan pikiran yang tertutup kabut (tidak bisa melihat dengan jernih), perhatian dan kewaspadaan diperlukan untuk keamanan kerja, efisiensi, dan produktifitas. Sikap ini menghasilkan pola pikir kritis yang mampu membedakan kenyataan dan khayalan. Buddha bersabda dengan waspada dan penuh perhatian serta terampi dengan segala cara seseorang harus membebaskan diri dari kenikmatan, membuat pikiran tenang dan tidak terganggu (Sn.1039).
Pengendalian tindakan fisik atau moralitas merupakan pondasi bagi semua kualitas, kabajikan, pencapaian, mulai dari duniawi sampai supra duniawi, mulai dari kesuksesan dan keberuntungan hingga keahlian meditas, dan akhirnya moralitas menjadi pondasi bagi kebijaksanaan dan pencerahan. Pengendalian tindakan fisik dilakukan terhadap perbuatan, ucapan dan mata pencaharian, juga terhadap hal makanan.
Kebenaran merupakan dasar setiap aktifitas. Bekerja yang didasarkan pada kebenaran memberi rasa aman karena tidak dihantui oleh pikiran dikejar-kejar pihak berwajib karena melanggar hukum, tidak tercela dalam masyarakat dan orang bijaksana, serta secara psikis tidak dihantui rasa bersalah terhadap Tuhan karena melakukan tindakan tercela.
Ketenangan bermanfaat dalam menghadapi dalam setiap persoalan sehingga membuat hidup menjadi sehat dan rileks. Ketenangan bukanlah kelemahan. Tingkah laku yang tenang setiap waktu menunjukkan tingkat kebudayaan seseorang. Bersikap tengan dalam setiap kondisi menyenangkan tidaklah sulit. Ketenangan dalam kondisi sulit harus diperjuangkan karena berlatih untuk bertindak tenang dan terkontrol setiap saat, kekuatan karakter seseorang dibangun.
Usaha keras diibaratkan ternak dengan kuk yang membawa menuju nibbana (tujuan akhir). Usaha keras dilakukan tanpa terhenti sampai tujuan tercapai sehingga tidak ada lagi penyesalan. Kunci kehidupan sukses adalah mengerjakan apa yang harus dikerjakan saat ini, tidak mengingat masa lalu, dan khawatir akan masa depan.
Karakteristik Etos Kerja
Karakteristik etos kerja ada empat yaitu pertama; memperkuat karakter pekerja dengan membangun perilaku positif seperti disiplin, keja keras, ulet, hemat, jujur, ramah, loyal dan antusias terhadap pekerjaan. Kedua; mempertinggi kompetensi profesional pekerja. Hal ini akan meningkatkan semangat yang menuntun seseorang untuk terus belajar dan tidak puas terhadap hal yang telah dicapai. Ketiga; menghasilkan kinerja-kinerja unggul. Seseorang dengan penghargaan tinggi terhadap pekerjaan dapat menghasilkan kinerja dan produktifitas tinggi. Keempat; tangguh dan mampu menghadapi situasi sulit dengan positif.

Pengembangan Etos Kerja
Pengembangan etos kerja buddhis dilakukan melalui cara:
1.      Menumbuhkan tekad (adhitthana) dan semangat (viriya) dalam bekerja.
Tekad tercermin dalam visi dan misi kerja. Visi dan misi kerja dalam buddhisme ada 2 tingkatan yaitu; tingkat pertama berkaitan dengan kehidupan dunia  yaitu mendapatkan kekayaan, nama baik/kedudukan atau kemasyuran, usia panjang, dan terlahir di surga setelah meninggal dunia (A.ii.66). Tingkat kedua lebih mulia dan lebih luas dari pada pertama yaitu atas dasar kasih sayang dan dorongan untuk menyelamatkan dan membahagiakan semua makhluk.
Tekad yang tercermin dalam visi misi ini hanya dapat direalisasi melalui semangat (viriya). Semangat dapat ditumbuhkan melalui empat cara yaitu pertama; usaha rajin keadaan-keadaan jahat dan buruk tidak tidak timbul dalam diri seseorang. Keadaan jahat yang dimaksud adalah pikiran-pikiran jahat seperti menipu, korupsi, melanggar aturan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, dan menggunakan kekerasan dalam bekrja. Pikiran jahat harus dilenyapkan dalam diri seseorang karena dapat mendatangkan kerugian/penderitaan.
Kedua; usaha rajin dalam menghilangkan keadaan jahat dan buruk yang timbul. Pikiran buruk wajar timbul dalam diri seseorang yang masih diliputi oleh perubahan. Cara merespon pikiran buruk yang timbul adalah menyadari kekurangan dan kelebihan manusia sehingga mengetahui mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Kondisi pikiran buruk dapat dinetralisir dengan banyak melakukan kegiatan bermanfaat bagi bagi diri sendiri dan orang lain, seperti meditasi, pelayanan sosial, dan olahraga.
Ketiga; usaha rajin untuk menjaga keadaan-keadaan baik dalam diri seseorang. Keadfan naik ini adalah pikiran positif yang menunjang pada kemajuan material dan spiritual. Perbuatan baik akan mendatangkan kesuksesan dan kebahagiaan.
Keempat: usaha untuk menjaga keadaan-keadaan baik tersebut tidak hilang. Langkah terakhir dalam menumbuhkan semangat adalah dengan senantiasa menjaga /memilihara pikiran-pikiran positif yang telah timbul tetap berada dalam diri seseorang.
Keempat aspek upaya/usaha benar dalam menumbuhkan semangat memfokuskan pada energi pikiran pada kondisi mental seseorang. Tujuannya adalah untuk mengurangi bahkan menghiangkan pikiran tidak bermanfaat (akusala) dan untuk meningkatkan dan menghasilkan pikiran bermanfaat (kusala).
2.      Meningkatkan pengetahuan luas (bahusacca) dalam bekerja.
Pengetahuan merupakan awal dari tindakan bermanfaat dan tidak bermanfaat. “Pengetahuan akan mendahului dan membawa pada hal-hal yang bermanfaat, sedangkan pikiran tahu malu dan pikiran takut untuk bertindak salah akan mengikutinya” (It.40).
Fungsi pengetahuan dalam buddhisme adalah mewujudkan kesejahteraan dan keselamatan dan kebahagiaan, untuk menghentikan kejahatan, menghasilkan keterampilan hidup, meningkatkan moralitas, dan mengembangkan kebijaksanaan.
Cara memperoleh pengetahuan dapat dilakukan melalui beberapa cara  yaitu peratama; membangun keyakinan, dengan keyakinan menumbuhkan rasa hormat yang akan diikuti munculnya keinginan untuk mengetahui dan belajar sehingga menghasilkan pengetahuan.
Kedua; mendengarkan. Mendengarkan adalah proses vital dalam belajar, melalui mendengar seseorang mengingat, mengetahui, dan memahami sesuatu. Ketiga; menanyakan. Pengetahuan dapat diperoleh melalui bertanya, sebab hampir semua pembelajaran dilakukan dengan dialog/tanya jawab. Keempat; perhatian seksama dan pengertian jelas. Pengetahuan dapat diperoleh melalui penelitian/pengamatan terhadap setiap aktifitas sehari-hari sehingga diperoleh pemahaman. Buddha memperoleh pencerahan berdasarkan pengamatan terhadap kehidupan yaitu kelahiran, usia tua dan kematian.
Kelima; kesaksian. Kesaksian orang lain terhadap suatu kebenaran dapat menjadi inspirasi/pencerahan diri sendiri, seperti yang terjadi pada bhikkhu Sariputta. Bhikkhu Sariputta memahami inti sari ajaran berdasarkan kesaksian bhikkhu Asajji. Bhikkhu Sariputta memahami konsep sebab akibat yang mendasari semua ajaran Buddha Gotama melalui syair yang diucapkan oleh bhikkhu Asajji.
Keenam; melalui proses bertahap. Pendidikan memberi tempat seluas-luasnya pada pengujian, pemahaman rasional, dan pengalaman empiris. Belajar merupakan proses evolusi karena perubahan perilaku memerlukan waktu, kesabaran, dan ketekunan. Suatu proses pada hakekatnya merupakan rangkaian sebab akibat, dengan memahami proses ini maka pengetahuan dan kebenaran dapat diperoleh.
3.      Meningkatkan keahlian/profisionalisme (sippa) dalam bekerja.
Keahlian dalam bekerja merupakan langkah awal menuju sukses Buddha menjelaskan dalam Gonaka Moggalana Sutta tentang kemajuan latihan, kerja, dan perbuatan progresif melalui praktik Dhamma dan Vinaya. Praktik Dhamma dan Vinaya menghasilkan pencapaian jhana-jhana dari meditasi benar. Metode Gonaka Moggalana Sutta dapat diterapkan untuk memperoleh keahlian/profesionalisme dalam bekerja.
Perhatian penuh dengan peraturan-peraturan. Seseorang yang masih dalam tahap pendidikan harus memiliki disiplin dalam mentaati peraturan-peraturan. Peraturan berfungsi untuk mengendalikan tingkah laku, menggiatkan usaha dalam belajar, dan mengendalikan perasaann-perasaan takut, khawatir atau cemas terhadap kegagalan, hambatan, masa depan, maupun persaingan. Sehingga perasaan tersebut tidak mengganggu proses pendidikan.
Menjaga indera-indera, yaitu mengendalikan indera dengan memahami hal-hal yang dilihat, didengar, dicium, dirasakan, disentuh, dan apa yang diketahui melalui pikiran sebagaimana adanya sehingga tidak menimbulkan keserakahan dan kesedihan. Implikasiny dalam proses pendidikan seseorang akan fokus pada satu bidang keahlian sehingga akan benar-benar menguasai bidang tersebut sebelum memperdalam bidang lainnya.
Ketiga; pengetahuan benar mengenai makan. Pengetahuan tentang jumlah makan secara benar. Penting guna memenuhi kadar gizi pada tubuh. Buddhisme menganggap makanan berfungsi menunjang dan mempertahankan kelangsungan tubuh, untuk mengakhiri keadaan yang tidak menyenangkan dan membantu kehidupan suci. Buddha tidak membenarkan makan untuk kesenangan, ketagihan, mempercantik dan memperindah diri.
Keempat; tetap waspada. Seseorang selalu berusaha membebaskan diri dari kesulitan-kesulitan setiap saat. Seperti kemalasan, ketidaksabaran, kebencian, kemarahan, atau keserakahan. Kesulitan dapat juga berupa minimnya fasilitas pendidikan, tidak harmonisnya interaksi dengan guru dan teman maupun masalah finansial.
Kelima; hati-jati dan penuh kesadaran (satisampajanna). Setiap aktifitas baik ketika sedang dalam proses belajar amupun aktifitas lainnya memerlukan perhatian dan pengeratian penuh sehingga dapat memahami dan menerima pengetahuan dengan baik. Keenam; pergi ketempat peristirahatan terpencil dan menuju empat jhana. Aplikasi tahap keenam adalah memilij lembaga pendidikan yang berkompeten baik fasilitas maupun tenaga pengajarnya sehingga hasil dari ppendidikan yang diharapkan dapat tercapai yaitu berupa perubahan tingkah lauku, pemahaman, dan keahlian bekerja.
4.      Meningkatkan kesabaran (khanti) dan ketekunan (appamada) dalam bekerja.
Kesabaran dan ketekunan bermanfaat dalam memahami adanya keterkaitan antara usaha-waktu-dan hasil. Buddha bersabda; “Para bhikkhu petani membajak ….hendaklah tanamanku bertunas hari ini, esok hendaknya berbutir bernas, dan hari berikutnya hendaklah masak. Tidak! Tergantung pada waktunya yang tepat yang mebuat hal-hal itu terjadi” (A.i.240).
Buddha menekankan perlunya memahami proses dalam mengharapkan hasil. Segala sesuatu berjalan berdasarkan hukum alam(niyama). Kesabaran akan memunculkan sikap positip seperti ketengangan, analisa yang cermat, kritis, tabah dalam menghadapi persoalan, dan keuletan/ketekunan.
Kesabaran di5tumbuhyklan dengan cara menetralisir kondisi buruk seperti keinginan yang mengikat (chanda), kecenderungan terhadap kebencian (dosa), kecenderungan terhadap kebodohan (moha), kecenderungan terhadap ketakutan (bhaya).
Buddha menjelaskan untuk mengembangkan ketekunan dapat dilakukan melalui empat cara yaitu (1) menghentikan perikaku buruk dalam tindakan, dan mengembangkan perilaku bajik dalam tindakan, (2) menghentikan perikaku buruk dalam ucapan, dan mengembangkan perilaku bajik dalam ucapan, (3) menghentikan perikaku buruk dalam pikiran, dan mengembangkan perilaku bajik dalam pikiran, (4)mengehentikan pandangan salah dan mengembangkan pandangan benar.
5.      Meningkatkan aktualisasi diri dalam bekerja (parami)
Aktualisasi diri merupakan proses membuat potensi diri menjadi aktual/nyata, berarti bagaimana membuat eksistensi diri seseorang diakui dalam masyarakat.
Seseorang yang teraktualisasi memiliki ciri-ciri: (1) keterbukaan terhadap pengalaman, (2) percaya diri, (3) sumber evaluadi inyternal, dan (4) kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut. Aktualisasi diri memiliki implikasi yang signifikan terhadap cara pandang seseorang mengenai kerja. Seseorang yang memiliki aktualisasi diri akan menjadi teladan dan inspirasi dalam masyarkat, sehingga membawa kemajuan bagi komunitas dan dunia secara luas, serta memiliki penghargaa yang tinggi terhadap kelestarian alam.

Simpulan dan saran
Simpulan
Etos kerja buddhis adalah kesempurnaan upaya/usaha (viriya parami) guna membuat seseorang tetap bersemangat dalam mencapai tujuan bekerja, sehingga menghasilkan pertumbuhan ekonomi.
Wujud dalam manusia yang memiliki kualitas moral dan intelektual sehingga dapat bekerja penuh semnagat tanpa merugikan pihak lain.
Perilaku yang muncul dari seseorang yang mengembangkan etos kerja buddhis adalah memiliki ketekunan, keseksamaan, sahabat baik, dapat hidup seimbang, keyakinan, moralitas, kemurahan hati dan kebijaksanaan.
Pengembangan etos kerja buddhis dilakukan dengan memperhatikan aspek moralitas dan intelektual melalui lima tahap yaitu menumbuhkan tekad dan semangat dalam bekerja, meningkatkan pengetahuan luas, meningkatkan keahlian/profesionalisme, meningkatkan kesabaran dan ketekunan, dan meningkatkan aktualisasi diri dalam bekerja.
Saran
Keberhasilan seseorang pada hakekatnya ditentukan oleh diri sendiri melalui usaha keras, dan perbuatan bajik karena itu bekerja dengan semangat/etos kerja tinggi sangat diperlukan. Pendalaman ajaran agama (Dhamma) dapat memperkuat etos kerja seseorang.
Penelitian pengembangan etos kerja dalam perspektif buddhis bersifat deskriptif studi pustaka masih bersifat teoritik makan disarankan agar dapat dilakukan penelitian terapan dengan obyek penelitian yang sama.


Daftar Pustaka

.... 2001. Kamus Besar bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Dialoques Of The Buddha (Dhiga Nikaya) Vol. III. Terjemahan David, R. 1977b. London: The Pali Text Society
Mahardika, P. S. 2002. Selamat datang di PT. Spirit Mahardika (online).  (http://www.institutmahardika.com/artikel/index.htm diakses 21 desember 2003)
Sinamo, J. H. (2002). Ethos21: Etos Kerja Profesional di Era Digital Global. Jakarta: Institut Darma Mahardika
Dhammapada. Terjemahan Supandi, C. J. 1997. Bandung: Karaniya
The Book of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol. IV. Woodward, F. L., & Hare, E. M. 1972-1978b. London: The Pali Text Society.
The Book of Gradual Saying (Anguttara Nikaya) Vol. V. Woodward, F. L., & Hare, E. M. 1972-1978b. London: The Pali Text Society.
The Minor Reading (Khuddhaka Nikaya). Terjemahan Nanamoli, B. 1978. London: The Pali Text Society.
Wiradi, G. 1989. Ensiklopedia Nasional Indonsia Jilid 5. Jakarta: PT. Cipta adi Pustaka.
Zed, M. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor.
Zikrullah, A. Y. 2004. Struktur ekonomi dan Pengentasan kemiskinan (Online). Retrieved (http://www.kimpraswil.go.id/public/P2KP/okt/struktur00htm diakses 9 januari 2004)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar